BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 11 Mei 2009

Rekonstruksi Kurikulum Sekolah

Rekonstruksi Kurikulum Sekolah
Author: Abdul Halim Fathani. 28 November 2006 : 1:38 pm.
INOVASI BARU: Cara Modern Menjadi Penulis Hebat!



Reformasi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan majemuk, sehingga memerlukan pengarahan segenap potensi yang ada dalam tempo yang panjang. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang bagi siapapun pelaku yang aktif dalam pendidikan, untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan kualitas pendidikan. Reformasi pendidikan pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

Ada beberapa prioritas pendidikan masa depan yang perlu direformasi dai dunia pendidikan, Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lulusan suatu lembaga pendidikan, barangkali kurikulumlah yang bisa dianggap menjadi prioritas utama untuk diperhatikan. Hal ini tidak lain karena kurikulum merupakan konsep pendidikan yang akan diberikan kepada siswa. Bahkan dalam pengertian lebih luas, keberadaan kurikulum tidak saja terbatas pada materi yang akan diberikan di dalam ruang belajar, melainkan juga meliputi apa saja yang sengaja diadakan atau ditiadakan untuk dialami siswa di sekolah. Oleh karena itu, posisi kurikulum menjadi mata rantai yang urgen dan tidak dapat begitu saja dinafikan dalam konteks peningkatan kualitas lembaga pendidikan.

Sejarah mencatat bahwa negeri kita sudah melakukan perubahan kurikulum sebanyak enam kali. Hakikat perubahan kurikulum dimaksud adalah agar dapat meningkatkan mutu pendidikan. Namun, apa yang kita saksikan, bahwa perubahan kurikulum belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Oleh sebab itu, perlu kiranya kita kaji ulang, kurikulum apa yang sebenarnya dapat memberikan dampak terhadap mutu pendidikan.

Keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 menandai babak baru reformasi kurikulum di Indonesia. Namun, reformasi kurikulum tampak masih setengah hati, kurang matang digarap. Selain itu, secara substansial Permen belum mampu memberi roh untuk menghidupi otonomi pendidikan yang sesungguhnya. Salah satu antinomi pedagogi yang menjadi “penyakit kronis” pendidikan kita adalah ketegangan antara sistem kurikulum terpusat dan organisasi lokal di sekolah. Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesungguhnya ingin menjembatani bipolarisasi antara kurikulum kuota nasional dan lokal. Karena itu, Permen hanya mengatur Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) minimal, dan membiarkan Satuan Tingkat Pendidikan menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar pembelajaran mencapai tujuan.

Reformasi pendidikan bisa dimulai dari pembaruan di bidang kurikulum, sebab kurikulum merupakan semacam satelit yang melacak dan memberi identitas edukatif bagi setiap siklus pendidikan. Secara pedagogis dan didaktis, tujuan kurikulum adalah untuk mempercantik busana kultural maupun formatif, baik itu melalui pengayaan berkesinambungan atas identitas intelektual anak didik mulai TK sampai perguruan tinggi, atau melalui penguatan otonomi pendidikan yang sifatnya subsidiaris, jauh dari sentralisasi edukatif, secara didaktis memberi otonomi pada anak didik sebagai agen yang belajar sesuai kapasitas dan kemampuannya.

Globalisasi yang menurunkan pamor monosentrisme pendidikan yang lantas digantikan polisentrisme sumber-sumber pengetahuan membuat reformasi pendidikan, khususnya pembaruan kurikulum, menghadapi tantangan besar terkait identitas dan peran sekolah dalam situasi masyarakat yang kian kompleks. Bipolarisme pendidikan yang memperhadapkan kekuasaan sentral dengan kekuasaan lokal tidak dapat menghindar dari 2 (dua) pertanyaan kritis seputar masalah pedagogis terkait tujuan reformatif yang ingin dilakukan.

Pertama, apakah pembaruan kurikulum menjadi alat penuntun bagi peserta didik atau bagi objek pengajaran sendiri? Di sini antinomi pendidikan terlihat paling nyata. Jika kurikulum dipahami sebagai “kendaraan” yang membimbing anak didik pada tujuannya, kurikulum seharusnya memberi otonomi besar bagi peserta didik untuk ambil bagian aktif dalam perjalanan formatifnya. Titik berangkat posisi ini adalah pada siswa sendiri. Di lain pihak, jika kurikulum dipahami sebagai alat penuntun bagi pembuatan obyek-obyek pengetahuan yang perlu diajarkan kepada siswa, masalah pokoknya adalah nilai-nilai budaya macam apa yang akan dipilih, dikembangkan, sehingga peserta didik memiliki hak untuk dapat mengolah dan memperdalam warisan simbol-simbol budaya yang mereka miliki, mengaktualisasikannya selaras kemajuan teknologi dan informasi, serta relevan bagi kesiapan mereka memasuki dunia kerja.

, apakah pembaruan kurikulum menjadi alat penuntun bagi peserta didik atau bagi objek pengajaran sendiri? Di sini antinomi pendidikan terlihat paling nyata. Jika kurikulum dipahami sebagai “kendaraan” yang membimbing anak didik pada tujuannya, kurikulum seharusnya memberi otonomi besar bagi peserta didik untuk ambil bagian aktif dalam perjalanan formatifnya. Titik berangkat posisi ini adalah pada siswa sendiri. Di lain pihak, jika kurikulum dipahami sebagai alat penuntun bagi pembuatan obyek-obyek pengetahuan yang perlu diajarkan kepada siswa, masalah pokoknya adalah nilai-nilai budaya macam apa yang akan dipilih, dikembangkan, sehingga peserta didik memiliki hak untuk dapat mengolah dan memperdalam warisan simbol-simbol budaya yang mereka miliki, mengaktualisasikannya selaras kemajuan teknologi dan informasi, serta relevan bagi kesiapan mereka memasuki dunia kerja.

Kedua, apakah kurikulum lebih dipahami sebagai sarana untuk menerapkan program-program, atau sebaliknya menjadi alat untuk belajar membuat program itu sendiri? Jika yang pertama dipilih, kurikulum lantas sekadar menjadi alat guna menerapkan program-program yang telah jadi, pelaksanaannya bersifat wajib, sifatnya terpusat dan mengikat, misalnya, berupa kurikulum dengan kuota nasional. Di lain pihak, jika dipahami sebagai sarana untuk membuat program pendidikan, lantas kurikulum merupakan sarana pendukung yang sifatnya opsional, tidak wajib, yang sepenuhnya diserahkan pada otonomi sekolah lewat kuota lokal.

, apakah kurikulum lebih dipahami sebagai sarana untuk menerapkan program-program, atau sebaliknya menjadi alat untuk belajar membuat program itu sendiri? Jika yang pertama dipilih, kurikulum lantas sekadar menjadi alat guna menerapkan program-program yang telah jadi, pelaksanaannya bersifat wajib, sifatnya terpusat dan mengikat, misalnya, berupa kurikulum dengan kuota nasional. Di lain pihak, jika dipahami sebagai sarana untuk membuat program pendidikan, lantas kurikulum merupakan sarana pendukung yang sifatnya opsional, tidak wajib, yang sepenuhnya diserahkan pada otonomi sekolah lewat kuota lokal.

, apakah kurikulum lebih dipahami sebagai sarana untuk menerapkan program-program, atau sebaliknya menjadi alat untuk belajar membuat program itu sendiri? Jika yang pertama dipilih, kurikulum lantas sekadar menjadi alat guna menerapkan program-program yang telah jadi, pelaksanaannya bersifat wajib, sifatnya terpusat dan mengikat, misalnya, berupa kurikulum dengan kuota nasional. Di lain pihak, jika dipahami sebagai sarana untuk membuat program pendidikan, lantas kurikulum merupakan sarana pendukung yang sifatnya opsional, tidak wajib, yang sepenuhnya diserahkan pada otonomi sekolah lewat kuota lokal.

, apakah kurikulum lebih dipahami sebagai sarana untuk menerapkan program-program, atau sebaliknya menjadi alat untuk belajar membuat program itu sendiri? Jika yang pertama dipilih, kurikulum lantas sekadar menjadi alat guna menerapkan program-program yang telah jadi, pelaksanaannya bersifat wajib, sifatnya terpusat dan mengikat, misalnya, berupa kurikulum dengan kuota nasional. Di lain pihak, jika dipahami sebagai sarana untuk membuat program pendidikan, lantas kurikulum merupakan sarana pendukung yang sifatnya opsional, tidak wajib, yang sepenuhnya diserahkan pada otonomi sekolah lewat kuota lokal.

Dua pendekatan itu tampaknya lepas dari analisis Permen, sebab lampiran Permen yang memberikan indikasi teoretis berupa programasi kurikulum yang ditawarkan masih bersifat sentralistis, kurang memberi tempat pada dimensi otonomi peserta didik untuk memilih jalur formasi yang ingin dijalani. Permen juga membatasi fungsi kurikulum sekadar sebagai penuntun pembuatan obyek-obyek pengetahuan yang harus disosialisasikan peserta didik. Di lain tempat malah memberi keleluasaan pada sekolah untuk menjiplak program yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Proses aplikasi program ini pun masih terlihat amat memusat, kental muatan kurikulum dengan kuota nasional, sedangkan muatan lokal hanya diberi alokasi rata-rata dua jam mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan.

Reformasi setengah hati seperti ini alih-alih membantu menumbuhkan otonomi pendidikan dalam arti sebenarnya, malah membingungkan pihak-pihak yang terlibat pendidikan (guru, yayasan, sekolah, dan masyarakat). Pertanyaan tentang adanya kontradiksi antara KTSP dan Ujian Nasional menunjukkan, KTSP digarap secara kurang integral sebab ada inkonsistensi di sana-sini.

Reformasi pendidikan semestinya dimulai dari reformasi kurikulum, sebab kurikulum merupakan jembatan yang menjadi pondasi bangunan pendidikan. Karena itu, reformasi kurikulum seharusnya bersifat integratif yang mampu mengakomodasi dimensi konfliktual yang terjadi antara peserta didik sebagai agen pendidikan dan kebudayaan sebagai obyek pengetahuan. Selain itu, reformasi kurikulum semestinya mampu mengatasi ketimpangan antara pendekatan pusat dan pinggiran (baca, otonomi sekolah).

Reformasi kurikulum semestinya menjadikan kebijakan pemerintah semacam termostat yang menyeimbangkan visi pendekatan yang berpusat pada anak didik dan visi yang berpusat pada kebudayaan. Jadi ada semacam dialektika terus menerus antara bipolarisasi pendidikan dan penguatan otonomi sekolah dengan menjauhkan diri dari kecenderungan kurikulum yang hiperformal (semua diatur, direncanakan dan diprogramkan dari atas, sekolah tinggal mengikuti), atau hiperinformal (kurikulum menjadi cermin atas semua yang diputuskan sekolah). Permen No 22, 23, dan 24 tahun 2006 bisa menjadi reformasi kurikulum yang sebenarnya jika memperhatikan dimensi integralitas itu. Kekurangmatangan dalam membuat reformasi kurikulum menghasilkan hilangnya dimensi otonomi pendidikan yang sebenarnya ingin diarah lewat KTSP, yaitu, kebebasan peserta didik menentukan sendiri perjalanan formatif intelektualnya dan mandulnya otonomi sekolah. Jika ini terjadi, roh otonomi pendidikan akan kian jauh dari harapan kita. (*)

0 komentar: