BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 11 Mei 2009

Nasib Guru Bumi Cendrawasih

GURU
Nasib Guru Bumi Cendrawasih

Kata Kunci: Guru Papua




Oleh : MF. Arief

Papua Barat





”Kami hanya mendengar mengenai tunjangan kesejahteraan untuk guru daerah terpencil. Kami juga hanya mendengar ada tunjangan fungsional buat guru. Namun kami belum ada penjelasan yang benar-benar jelas pada kami tentang itu semua,” kata Albert Bisay, AMa.Pd, Kepala SD Inpres 23, Prafi, Manokwari. Uneg-uneg itu begitu saja keluar dari mulut Alber Bisay.



”Kami sudah mengabdi kurang lebih 20-an tahun. Tapi kami belum tahu apa yang mestinya diberikan kepada kami sebagai guru kecil di desa terpencil,” katanya menambahkan.



Albert menceritakan, banyak guru sejawat di Prafi, merasa cemburu melihat rekan guru-guru lain di SMP dan SMA yang lebih diperhatikan. Misalnya, soal fasilitas di SD yang menurut Albert masih sangat kurang.



SD Inpres 23 yang terletak di lokas transmigrasi tergolong sekolah yang paling maju. Tapi, sekolah ini tak memiliki perpustakaan sehingga buku-bukunya berserakan di lantai. Jumlah buku koleksi perpustakaan pun sangat kurang. Belum lagi sarana penunjang belajar lainnya. Albert juga ingin sekolahnya mendapat bantuan pesawat televisi agar bisa dipakai untuk kepentingan pembelajaran.



”Kami juga berharap setidaknya ada sepeda motor untuk kendaraan dinas sekolah. Setiap hari kami harus memeras otak untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas semacam itu,” kata Albert.



HUKUM ADAT VS HUKUM NASIONAL



Alber Bisay berkeluh kesah soal fasilitas sekolah dan kesejahteraan guru. Sejawatnya, Andang Riwayat bahkan pusing memikirkan kelangsungan hidup sekolahnya, SD Inpres 101 Warami, Distrik Tanah Rubuh. Sekolah ini sekitar 60 km dari Prafi. ”Sekolah kami di-palang masyarakat. Masyarakat adat menuntut hak atas penggunaan tanah adat sebesar Rp 600 juta,” kata Andang Riwayat Kepala SD Inpres 101 Warami.



Proses pembelajaran pun mandeg. ”Sekolah-sekolah di daerah sini memang sering menghadapi kendala berkaitan dengan hukum adat,” kata Andang menambahkan.



”Apa yang orangtua siswa pahami tentang sekolah, itu hanya sebatas anak sudah terdaftar di sekolah. Apakah siswa tidak masuk sekolah, tidak mengikuti ulangan, siswa harus naik kelas. Saat ujian mereka hanya tahunya anak harus lulus,” kata Andang.



Menurut Andang, terutama guru-guru pendatang dari luar Papua, dibuat tidak berdaya dengan kemauan para orangtua siswa. Para guru serba salah. Jika menerapkan peraturan dari dinas pendidikan mereka menghadapi tantangan dari masyarakat. Sedangkan kalau terlalu berkompromi kemauan masyarakat, sekolah yang jelas akan berhadapan dengan dinas pendidikan. ”Kalau mengikuti terus kemauan masyarakat lama-lama bukan kami yang mau memajukan mereka. Semakin lama semakin membodohkan mereka,” katanya.



MENGAJAR DI DAERAH PEGUNUNGAN



Victor Valens Manuputty, kepala sekolah SD Isim juga tak kalah susah tantangannya. Isim terletak sekitar 125 km dari Manokwari. Victor memimpin sekolah itu sejak diangkat sebagai pelaksana harian kepala SD Isim pada 12 Agustus 2004.



Victor merasakan sulitnya medan menuju SD Isim. Dari Manokwari menuju Isim, bisa ditempuh dengan kendaraan hingga Distrik Ransiki. Setelah itu perjalanan mau tidak mau dilanjutkan dengan berjalan kaki, mengingat angkutan umum sangat jarang melintas. Bahkan ketika jalanan sudah mendaki, otomatis memang hanya bisa dilakui dengan berjalan. ”Kami biasa naik gunung dengan ketinggian lumayan. Kondisi jalanan sulit. Kalau sampai salah injak bisa jadi ’kornet’ di bawah,” kata Victor setengah bercanda.



Tahap berjalan kaki ini tak bisa ditempuh hanya dalam sehari. Biasanya Victor dan guru-guru lain menginap di kampung Tubes. ”Kalau sudah sampai Isim, paling cepat kami turun sekitar 3 bulanan. Kadang sampai 6 bulan kami baru turun, kecuali kalau ada tugas,” katanya.



Sekali turun, guru pendatang yang terbiasa makan nasi, sekalian belanja beras dan kebutuhan pokok lainnya. Bagi penduduk asli, kebanyakan makan keladi, sehingga tak banyak yang belanja beras dan lauk pauk.



Padahal toko penjual kebutuhan pokok paling dekat di basecamp di kilometer 24 jalan menuju Ransiki. ”Kalau sudah turun, biasanya kami istirahat dulu tidak bisa langsung naik. Butuh tenaga untuk membawa barang atau memikul sekarung beras,” kata Victor.



Bangunan SD Isim berupa rumah panggung dari kayu. Jumlah ruangnya hanya 3. Sekolah tersebut dibangun pada tahun 1994. Di awal Victor bertugas di SD Isim, jumlah siswanya hanya 37 anak didukung 2 guru, termasuk Victor. Bahkan ada rentang waktu ia mesti memimpin sekolah sekaligus mengajar sendirian, karena rekan guru di sana pindah.



Di sekitar Isim terdapat beberapa distrik yang juga memiliki sekolah. Misalnya Nyawara dan Tahosta. Namun, sekolah di Nyawara dan Tahosta sekadar bangunan. Sebab di dua sekolah tersebut kini kosong guru. Siswa-siswanya digabung ke Isim.



”Siswa kami menjadi hampir 90 orang. Tapi kadang banyak pula yang pulang, sehingga jumlah murid selalu berkurang,” kata Victor. Jumlah siswa Victor kadang 50 anak. Lain waktu cuma 30 siswa. Pernah juga pembelajaran Victor hanya diikuti 10 siswa.



Masalah alat komunikasi pun menjadi kendala berat di SD Isim. Menurut Victor, satu-satunya jalur informasi hanya melalui surat. Dengan catatan: kalau surat tersebut sampai.



Sehingga ketika ada panggilang dari dinas pendidikan, Victor pusing bukan kepalang. Terpaksa ia mengambil sebagiann dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk ongkos transportasi. ”Jika ada undangan kepala sekolah, biaya transportasi ke Manokwari Rp 400.000,” katanya.



Hitung-hitungan Victor, dengan gaji guru berkisar Rp 1 juta hingga 2 jutaan, akan habis dalam sekali-dua kali perjalanan Manokawi-Isim PP. Victor pun berharap ada tambahan insentif bagi guru-guru yang bertugas di daerah yang sulit.



MF. ARIEF (Manokwari)

30 October 2008 08:48 WIB

0 komentar: