BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 11 Mei 2009

Evaluasi Pelaksanaan UN

Evaluasi Pelaksanaan UN

By nias on March 27, 2009

Oleh: Drs. Firman Harefa, S.Pd

Seperti pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, ujian nasional (UN) tahun 2009 tetap belum lepas dari protes dan kritik. Pemerintah kukuh, tak bergeming dan maju terus bersandar pada alasan bahwa UN sebagai peningkatan kualitas pendidikan nasional. Bak kata pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Sebuah pertanyaan pantas diajukan, apakah benar UN relevan terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan?

Sebagai orang yang berkecimpung lama di dunia pendidikan, tegas saya katakan UN belum menjadi jaminan peningkatan kualitas dan mutu pendidikan. Bahwa UN melanggar prinsip-prinsip pendidikan, menyimpang dari amanat undang-undang serta mengorbankan anak-anak didik, itu iya. UN menghambat proses berfikir kreatif anak dan secara yuridis bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidik lah yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses belajar - mengajar.

Sebagai sebuah proses, pendidikan memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tapi, perubahan yang mengabaikan banyak hal, justru membuat pendidikan lebih terpuruk. Tak dapat dipungkiri, selama pelaksanaan UN, masih banyak persoalan yang muncul. Mulai dari kebocoran soal, materi soal yang diragukan kesahihannya, hingga menghalalkan segala cara untuk mendongkrak nilai UN demi meningkatkan marwah sekolah atau daerah. Lebih dari itu, sindrom kecemasan yang timbul, menjadi teror bagi guru, orang tua.

Suatu pendidikan dikatakan berhasil apabila mampu membentuk generasi yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Atau dalam kata lain, pendidikan di sekolah bukan hanya untuk nilai melainkan untuk hidup. Siswa diharapkan tidak hanya pintar berteori tetapi sekaligus bisa bertindak baik dan benar serta mampu hidup sebagai ”manusia”.

Nah, bagaimana dengan UN? Jika UN tetap digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, prinsip ujilah apa yang sudah diajarkan jelas sudah tak sesuai. Yang terjadi malah sebaliknya, ajarkan apa yang akan diuji.
Sangat disayangkan apabila dalam penentuan kelulusan hanya dipengaruhi oleh faktor akademis saja. Sebab, kualitas dan mutu pendidikan merupakan hasil evaluasi dari tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah efektif dan ranah psikomotoris. Apabila ketiga hal ini tidak diperoleh dari diri siswa, maka mutu dan kualitas itu jauh dari harapan.

UN jelas tidak mengevaluasi ketiga ranah tersebut, melainkan fokus pada satu ranah, yaitu ranah kognitif. Idealnya, UN itu hanya alat evaluasi nasional tapi bukan penentu kelulusan siswa di akhir masa studinya. Meminjam istilah Antarina SF Amir, bahwa pendidikan yang semata mengandalkan sisi akademis akan menjadi peristiwa tanpa makna. Perlahan tapi pasti, jika UN tetap dijadikan satu-satunya penentu kelulusan maka ia akan menghasilkan hilangnya kepribadian anak bangsa. Dan bersiaplah bangsa ini dipenuhi oleh generasi yang hilang.

Berkaca pada negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak dikenal istilah ujian nasional. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik berkembang secara optimal. Caranya, disediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik. Fasilitas sekolah yang memadai, yang memungkinkan peserta didik dapat menikmati proses belajar mengajar. Lalu melakukan evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Sebenarnya, niat dasar UN itu memang baik karena adalah kewajiban pemerintah untuk mengetahui kemampuan yang telah dimiliki para peserta didik dalam rangka menjamin tersedianya pendidikan bermutu. UN merupakan upaya pemerintah menetapkan standarisasi kualitas pendidikan secara nasional, sehingga tidak terjadi ketimpangan kualitas satu sekolah dengan sekolah yang lain.

Yang kelirunya menurut saya, menempatkan UN menjadi alat penentu kelulusan satu-satunya. Pada tahap ini, maka sesusungguhnya telah terjadi perendahan makna pendidikan. Tujuan pendidikan seolah-olah berhenti hanya pada urusan menjawab soal-soal UN, bukan untuk meningkatkan kualitas manusia.

Pun, upaya standarisasi yang dilakukan ini akan berjalan sesuai fungsinya jika di seluruh sekolah terdapat keseragaman sarana dan fasilitas pendidikan, terutama fasilitas belajar-mengajar dan sumber daya guru. Apakah hal itu sudah terlaksana di seluruh sekolah Indonesia? Saya kira jawabannya, belum, belum dan belum.
Jadi, mengapa tetap memaksakan UN sebagai penentu kelulusan siswa? Sekali lagi pantas dipertanyakan, sejauh mana relevansi UN terhadap peningkatan mutu pendidikan?

Dari paparan di atas, saya kira terlihat jelas bahwa UN bukan merupakan solusi yang tepat bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional kita. Kalau boleh dikatakan, UN tak lebih merupakan gejala inkonsistensi sistem pendidikan nasional yang mengorbankan siswa, membingungkan orangtua dan guru. Parahnya, ada indikasi UN malah menghambur-hamburkan uang negara yang sebenarnya bisa digunakan untuk kepentingan lain.

Harapan saya, atau barangkali juga harapan banyak kalangan, UN lebih baik ditiadakan. Kembalikan evaluasi siswa kepada sekolah, sebagaimana amanat UU. UN cukup difungsikan sebagai pemetaan kualitas saja yang kemudian dijadikan pemerintah sebagai salah satu landasan untuk memperbaiki layanan pendidikan.

Berikan kepercayaan penuh kepada pendidik, agar lebih mampu dan merasa ikut memiliki dalam penyelenggaraan ujian. Sebab, masyarakat memandang bukan masalah ujian nasional atau lokal, tapi lebih banyak berharap bagaimana pendidikan bisa membawa putra-putrinya menjembatani kehidupan masa datang. Jika harapan ini didengar, berarti pemerintah telah memenuhi salah satu prinsip pendidikan demokratis. ***

0 komentar: