BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 05 Maret 2009

INTERVENSI DALAM OTONOMI SEKOLAH

Intervensi Dalam Otonomi Sekolah. Oleh : Val. Bambang Setyawan (Ketua Komite Sekolah SMP PL 1 Klaten).- Intervensi alias campur tangan banyak mengandung nuansa negatif. Namun semestinya tidak harus begitu. Intervensi yang berakibat terjadinya ketidakstabilan terhadap sebuah proses manajemen internal bisa dikatakan negatif. Akan tetapi ada kemungkinan intervensi yang dilakukan justru akan semakin memperkuat proses manajemen yang tengah berlangsung. Karena itu intervensi dapat bersifat positif atau negatif, amat tergantung dari seberapa jauh dampak yang ditimbulkan dari intervensi atau campur-tangan tersebut. Otonomi Sekolah, sesungguhnya telah lama diperkenalkan di lingkungan pendidikan sejalan dengan berlangsungnya reformasi (pembaharuan) di bidang pendidikan.

Otonomi Sekolah pada prinsipnya memberikan otoritas kepada sekolah (dibawah kendali Kepala Sekolah) untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Rumah tangga sekolah itu menyangkut hampir seluruh aspek kependidikan dari proses pembelajaran, penentuan sarana-prasarana pendukung, sumberdaya manusia (tenaga kependidikan), kesiswaan, kebutuhan finansial, dan hal-hal yang terkait dengan butir-butir tersebut. Khusus terkait dengan kurikulum, dimungkinkan tiap-tiap sekolah melakukan modifikasi yang bersifat memperkaya kurikulum yang telah ditentukan secara nasional.

Melalui otonomi sekolah, seluruh komponen yang terkait dengan sekolah punya kewajiban untuk saling mendukunhg demi optimalisasi peran sekolah dalam mendampingi anak bangsa menuju padatingkat kedewasaan secara mental, fisik dan intelektual. Guru, karyawan, orangtua siswa, siswa, alumni dan masyarakat yang peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah itu, memiliki tanggung-jawab yang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sebuah sekolah. Akan sangat ideal apabila berbagai elemen yang kemudian diakomodir dalam kelembagaan yang bernama Komite Sekolah itu dapat duduk bersama untuk berpikir secara jernih, cermat dan akurat bagaimana cara dan upaya terbaik untuk mengembangkan kualitas pembelajaran dan pendidikan di sekolah tersebut.

Gaya manajemen partisipatif haruslah diterapkan agar gagasan positif dari setiap komponen dapat diakomodir secara sehat. Dalam konteks semacam itu intervensi atau campur tangan dari berbagai komponen dapat dikatakan sebagai campur-tangan yang bersifat memperkuat proses manajemen sekolah. Karena campur-tangan yang terjadi akan bersifat memperkuat konsep dan manajemen di sekolah tersebut. Karena itu intervensi yang dilakukan oleh masing-masing komponen yang terkait di sekolah harus tetap terikat pada etika dan aturan main yang ada. Sebagai contoh, Komite Sekolah haruslah membatasi diri pada hal-hal yang terkait dengan peran ‘penasihat’, ‘pendukung’, ‘pengontrol’ dan ‘mediasi’.

Peran sebagai eksekutif dalam memutuskan hal-hal yang bersifat teknis kependidikan menjadi otoritas Sekolah yang dikomandani oleh Kepala Sekolah. Urusan teknis penerimaan siswa, kenaikan kelas dan urusan kelulusan siswa, misalnya, menjadi otoritas penuh Kepala Sekolah dan jajarannya. Komite Sekolah (KS) dapat saja mengusulkan hal-hal yang terkait dengan sejumlah agenda tersebut; sejauh menyangkut kebijakan makronya. Misalnya, KS mengusulkan bahwa demi kualitas peserta didik tiap kelas sebaiknya hanya terdiri atas 25 peserta didik. Atau bisa saja KS mengusulkan agar proses pembelajaran di kelas menjadi makin intensif perlu tambahan sarana multimedia di tiap ruangan kelas, misalnya. Begitu seterusnya.

Dalam kaitan ini ada ketentuan etis yang bagaimanapun toh perlu dihormati oleh masing-masing komponen pendidikan. Kalau kesempatan etis ini tidak ditepati maka yang akan terjadi adalah berbagai bentuk intervensi yang justru akan memperlemah proses manajemen sekolah! Peran Birokrasi Pendidikan. Dalam konteks Otonomi Sekolah, fungsi birokrasi pendidikan seperti Dinas dan Cabang Dinas Pendidikan & Kebudayaan, semestinya menempatkan diri pada penentuan kebijakan makro, fasilitator bagi berbagai unit pelaksana teknis (termasuk sekolah-sekolah) dan mediator antara tiap-tiap unit pelaksana teknis dengan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.

Kebijakan makro bisa meliputi penentuan kebijakan dan distribusi anggaran, penentuan kebijakan manajemen SDM termasuk dalam menentukan kualifikasi dan kualitas sumberdaya tenaga kependidikan yang dibutuhkan, rekruitmen dan distribusinya; dan menjadi mediator agar setiap aspirasi dari masing-masing unit pelaksana teknis dapat diakomodir oleh penentu kebijakan di tingkat Kabupaten. Karena kebijakan birokrasi pendidikan berada di ranah penentuan kebijakan makro, maka hal-hal yang bersifat teknis semestinyalah didelegasikan kepada unit pelaksana teknis yang langsung bertanggung-jawab di tingkat operasional. Program-program kegiatan operasional yang dapatdialkukan oleh pelaksana fungsi teknis, entah unit pelaksana teknis, atau asosiasi guru bidang studi (MGMP), atyau fungsi-fungsi lainnya. Adalah sangat tidak etis manakala untuk kepentingan teknis PSB atau syarat kenaikan kelas; jajaran Dinas P & K masih melakukan intervensi yang bersifat sangat teknis!

Di bidang manajemen SDM kependidikan; peran pembinaan teknis sudah semestinya menjadi tanggung-jawab Kepala UPT; sementara kebijakan makro mulai rekruitmen sampai distribusi dan pemberdayaan serta monitoring terhadap formasi dan kebutuhan SDM kependidikan di tiap UPT atau cabang Dinas dapat dilakukan oleh Dinas teknis. Sangat tidak etis dan masuk akal apabila urusan penilaian terhadap kedisiplinan, dedikasi dan loyalitas terhadap pekerjaan harus dilakukan oleh penentu kebijakan makro dalam hal ini Dinas P & K. Pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja SDM kependidikan semestinya pertama-tama harus menjadi tanggung-jawab kepala UPT terkait. Sementara Dinas merupakan penanggung-jawab utama terhadap kinerja para kepala UPT, ‘manpower planning’ tenaga kependidikan dean pemberdayaannya. Sungguh, intervensi atau campur tangan dari berbagai komponen pendidikan amat diperlukan untuk semakin memperkuat kualitas pendidikan di tanah air.

Intervensi yang diharapkan sudahlah tentu bentuk intervensi yang akan semakin memperkuat proses manajemen di masing-masing jenjang. Baik di level birokrasi maupun unit pel;aksana teknis. Karena itu dituntut untuk secara terus-menerus memahami berbagai macam perubahan paradigma yang terjadi. Ketidakpahaman terhadap konsep dasar Otonomi Pendidikan, misalnya, akan menimbulkan tabrakan kepentingan yang sia-sia. Dan skhirnya orang-orang yang menjadi korban adalah juga para peserta didik yang semestinya menjadi subyek dari berbagai hiruk pikuk pembaharuan pendidikan di negeri yang kita cintai ini

0 komentar: